Pendahuluan
A.
Pengertian metafisika
Metafisika berasal dari (Bahasa Yunani:
μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) =
"hal-hal di alam") adalah cabang filsafat
yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.
Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.
Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari
suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama
metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan
hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Beberapa
Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa
pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan
oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib
(supernatural)dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran
supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini
amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap
bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib,
melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari
dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini
beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah
logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang
bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme
yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu
pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba
mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling
bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat
gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika
semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang
berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.
Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua
tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan
dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan
pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik
mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya
(pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan
namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut
paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat
dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini
berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang
bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas
ada.
B. Pengertian
islam
Islam berasal
dari bahasa (Arab: al-islām, الإسلام dengarkan (bantuan·info): "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia,[1][2] menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia
setelah agama Kristen.[3] Islam memiliki arti "penyerahan", atau
penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan
(Arab: الله, Allāh).[4] Pengikut ajaran
Islam dikenal dengan sebutan Muslim
yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan"[5][6],
atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi
perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah
menurunkan firman-Nya
kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan
meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad
adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Kata Islam merupakan penyataan kata nama
yang berasal dari akar triliteral s-l-m,
dan didapat dari tatabahasa bahasa Arab Aslama, yaitu bermaksud "untuk
menerima, menyerah atau tunduk." Dengan demikian, Islam berarti
penerimaan dari dan penundukan kepada Tuhan, dan penganutnya harus menunjukkan
ini dengan menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme. Perkataan ini memberikan
beberapa maksud dari al-Qur’an. Dalam beberapa ayat, kualitas Islam
sebagai kepercayaan ditegaskan: "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk
agama) Islam..."[7] Ayat lain menghubungkan Islām dan dīn (lazimnya
diterjemahkan sebagai "agama"): "...Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."[8] Namun masih ada
yang lain yang menggambarkan Islam itu sebagai perbuatan kembali kepada
Tuhan-lebih dari hanya penyataan pengesahan keimanan.[9]
Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar kata yang sama dengan kata salām
yang berarti “damai”. Kata 'Muslim' (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga
berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang
berserah diri kepada Allah" dalam bahasa Indonesia.
C. Kaitan
Metafisika dalam Islam
Agama dan filsafat memainkan peran yang
mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan
manusia. Selain menaruh filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga
menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Hubungan filsafat dan agama di Barat
telah terjadi sejak periode Yunani Klasik, pertengahan, modern, dan
kontemporer, meskipun harus diakui bahwa hubungan keduanya mengalami pasang
surut. Dewasa ini di Barat terdapat kecenderungan yang demikian kuat terhadap
peranan agama. Masyarakat modern yang rasionalistik, vitalistik, dan
materialistik, ternyata hampa spiritual, sehingga mulai
menengok dunia Timur yang kaya nilai-nilai spiritual
Kalau dilihat melaui sudut pandang islam
maka hubungan anatar filsafat dan agama yaitu sangat erat hubungannya. Al
quraan mengatakan bahwa sarana yang digunakan dalam mempelajari objek yakni
akal dan objek yang diperintahkan untuk dipelajari yaitu yang bersifat realitas
secara menyeluruh. Ayat-ayat yang menerangkan itu antaranya “maka berpikirlah
wahai orang-orang yang berakal dan berbudi. Disini dapat kita katakan bahwa Al Quraan
memandang positif hubungan antara filsafat dan agama.
Kerja akal disebut berfilsafat jika dalam
memakainya seseorang menggunakan metode berpikir yang memenuhi syarat-syarat
pemikiran logis . Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran sehingga jika
pemikiran akal (sebagai sumber asasi filsafat) dan Al Quraan (sebagai sumber
asasi agama) tidak membawa pertentangan maka itu merupakan suatu kebenaran.
Mengenai dikotomi agama dan filsafat serta
hubungan antara keduanya para pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok
pertama, berpandangan bahwa antara keduanya terdapat hubungan keharmonisan dan
tidak ada pertentangan sama sekali. Kelompok kedua, memandang bahwa filsafat
itu bertolak belakang dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya sama sekali. Kelompok
ketiga, yang cenderung moderat ini, substansi gagasannya adalah bahwa pada
sebagian perkara dan persoalan terdapat keharmonisan antara agama dan filsafat
dimana kaidah-kaidah filsafat dapat diaplikasikan untuk memahami, menafsirkan
dan menakwilkan ajaran agama.
Sangat penting untuk digaris bawahi bahwa
yang dimaksud filsafat dalam makalah ini adalah metafisika (mâ ba'd
ath-thabî'ah). Jadi subyek pengkajian kita adalah hubungan antara agama dan
metafisika, namun metafisika menurut perspektif para filosof Islam.
Sebelumnya telah disinggung bahwa sebagian
pemikir Islam memandang bahwa antara agama dan filsafat terdapat keharmonisan.
Sekitar abad ketiga dan keempat hijriah, filsafat di dunia Islam mengalami
perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah seorang filosof dan
teolog Islam, mengungkapkan hubungan antara agama dan filsafat, berkata,
"Syariat (baca: agama) adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah
orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat." Ia yakin bahwa filsafat merupakan
ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan.
Pembahasan
Unsur-Unsur Metafisika islam
Metafisika merupakan cabang
ilmu yang dulu banyak digunakan untuk memahami berbagai fenomena kehidupan dan
alam semesta. Istilah metafisika dimunculkan oleh filosof Yunani Aristoteles.
Arti dasar dari metafisika adalah "mengikuti fisika" atau
"setelah fisika" (ta meta ta physica).
Penjelajahan Aristoteles
terhadap metafisika dimulai dengan menulis buku pertamanya Alpha Minor,
di mana ia mencoba memahami kenyataan berdasarkan prinsip sebab-akibat. Ia mengatakan, rangkaian
sebab-akibat di alam semesta pasti ada titik awal-nya. Ia haruslah menjadi
sebab sejati. Aristoteles sampai menulis 14 buku tentang metafisika ini,
termasuk Beta (buku ketiga), Gammna (buku keempat), Delta (buku kelima),
Epsilan (buakna keenam), Theta (bnkic kesembilan), dan Kappa (buku kesebelas).
Kesimpulan yang menarik dari buku terakhir (buku keempatbelas) adalah,
pencarian Aristoteles terhadap sebab sejati itu kembali kepada buku pertama:
bahwa segala yang ada berasal dari sebab pertama, yaitu Tuhan Pencipta.
Berkali-kali Aristoteles berbicara tentang nilai dan kedudukan tinggi Bab
tentang Filsafat, yang membahas prinsip pertama dan sebab pertama (Metafisika
Al Quran karya Doktor Filsafat Muhammad Husaini Beheshti).
Dalam Islam, jelas sebab pertama tersebut adalah Allah Yang Maha Esa.
Pemikir Islam yang sangat menonjol di dalam ilmu metafisika dan ilmu
pengetahuan adalah Ibnu Sina (930 - 1036 M). Dalam bukunya Al-Syifa, Ibnu Sina
banyak membahas ilmu-ilmu alam dan metafisika, yang disusunnya hingga seri
keenam. Berdasarkan kajian tentang metafisika oleh Aristoteles dan Ibnu Sina,
Muhammad Husaini menyimpulkan bahwa masalah fundamental dari metafisika adalah
mencari sumber dunia. Sedangkan segenap masalah lainnya bersikap sekunder.
Berdasarkan penelitian, pemahaman, pengamalan, dan pengalaman dan ilmu
fisika maupun metafisika, manusia ternyata memiliki orbit/ putaran layaknya
planet-planet yang ada di alam semesta. Hal ini merupakan manifestasi manusia
sebagai khalifatullah di bumi, yang berperan sebagai wakil Allah SWT di bumi
untuk mengatur, memelihara, dan memanfaatkan alam beserta segala isinya.
Dengan perkataan lain, manusia adalah planet kecil, namun mampu menjadi
"planet besar" karena diberi mandat oleh Allah untuk menguasai dan
memanfaatkan planet-planet lainnya.
Bila planet-planet lainnya (Venus, Bumi, hingga Pluto) mengelilingi
matahari melawan arah jarum jam (ke arah kiri) sambil berotasi umumnya juga ke
arah kiri (kecuali Venus, Uranus, dan Pluto menurut ahli astronomi Calvin J.
Hamilton), maka manusia memiliki dua orbit. Dua buah orbit itu adalah hasil
dari kejadian manusia yang terdiri dari dua unsur. Ini dijelaskan Allah dalam
firman-Nya, Surat (15) Al Hijr ayat 28 dan 29:
”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berpesan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud."
Juga Surat Al Israa' ayat 85: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit."
Dengan demikian, dua unsur itu adalah Ruh KU yang Maha Suci dan Tanah (yang
mengandung tanah, air, udara, dan api) sebagai manifestasi dari alam semesta.
Ruh KU yang Maha Suci dan hanya Allah SWT yang Maha Tahu, sedangkan manusia
dilarang membicarakan materinya. Namun setelah masuk ke dalam diri manusia
terasa adanya energi pemberi hidup, yang ternyata memiliki orbit/putaran ke
arah kanan dan posisinya di bagian atas diri manusia.
Sedangkan tanah sebagai manifestasi unsur alam menghasilkan energi berupa
orbit/putaran ke arah kiri dan posisinya di bagian bawah manusia. Keberadaan
energi pada setiap manusia ini sesuai dengan prinsip hukum fisika. Setiap benda di alam semesta, menurut ilmu fisika memiliki
energi (Everything in our universe is nothing more than energy). Energi
tersebut berbeda dari setiap benda, yang oleh Albert Einstein diukur dengan
rumus E=m.c2 (E =energi sama dengan m=masa dikalikan dengan c2 = kecepatan
pangkat dua). Semakin besar masa dan kecepatan bergerak dari sebuah benda, maka energi yang
dihasilkannya akan semakin besar. Oleh karena faktor kecepatan lebih dominan
pengaruhnya terhadap energi yang dihasilkan, maka setiap benda yang bergerak
lebih cepat namun masanya kecil akan menghasilkan energi yang lebih besar
dibandingkan dengan benda dengan masa lebih besar namun bergerak lebih pelan.
Kedua orbit yang dimiliki manusia bertemu tegak lurus sebagai hakikat
penopang kehidupan manusia, yang menunjukkan keterkaitan tanpa putus antara
manusia dengan Sang Pencipta tetapi juga masih terikat dengan kehidupan dunia.
Orbit atas yang berputar ke kanan adalah manifestasi dari hablumminAllah,
sedangkan orbit bawah yang berputar ke arah kin sebagai manifestasi dari hablumminannas.
Untuk memperkuat temuan metafisika ini, perhatikan arah putaran ritual thawaf dalam ibadah haji/umroh. Thawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka'bah ke arah kiri (bukan ke arah kanan dalam persepsi umum umat). Hal ini sebagai hakekat manusia yang pada dasarnya memiliki unsur tanah dan bagian dari alam semesta yang juga berputar ke kiri.
Untuk memperkuat temuan metafisika ini, perhatikan arah putaran ritual thawaf dalam ibadah haji/umroh. Thawaf dilakukan dengan mengelilingi Ka'bah ke arah kiri (bukan ke arah kanan dalam persepsi umum umat). Hal ini sebagai hakekat manusia yang pada dasarnya memiliki unsur tanah dan bagian dari alam semesta yang juga berputar ke kiri.
Tegaknya orbit manusia, khususnya orbit atas, sangat berpengaruh kepada
manusia dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Oleh sebab itu, orbit
setiap orang harus senantiasa dijaga tegak lurus secara kokoh dan seimbang
sesuai dengan prinsip hablumminAllah dan hablumminannas. Dengan
perkataan lain, manusia harus menjaga keseimbangan hidup dunia dan akhirat,
keseimbangan antara amal dan ibadah sesuai tuntunan Al Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW. Keseimbangan ini dapat dikendalikan di titik bertemunya orbit
atas dan orbit bawah, pada titik yang dinamakan Akal-Budi. Setiap perbuatan,
perilaku, ucapan, dan pemikiran di dunia harus dikembalikan kepada pertimbangan
Akal-Budi, karena titik itu tersambung langsung dengan unsur Ruh yang selalu
mengajak kepada kebaikan dan kebenaran menurut Islam (aturan transendental).
Kebaikan dalam Islam selain untuk kemaslahatan manusia yang menjalankannya,
juga kebaikan bagi umat manusia lainnya sekaligus sebagai ibadah terhadap Allah
SWT.
Dengan memahami proses terjadinya manusia, orbit yang dimilikinya, dan
manifestasinya di dalam kehidupan sehari-hari, maka manusia seyogyanya mampu
untuk lebih memahami Islam seutuhnya. Pemahaman utuh tersebut akan menghasilkan
manusia yang unggul dan berakhlak mulia. Upaya menjaga orbit manusia tersebut
bisa dilatih setiap saat. Setiap manusia yang mampu menjaga terus orbit atas
dan orbit bawahnya secara seimbang dan tegak lurus akan mampu mendayagunakan
seluruh potensi Akal-Budinya. Latihan intensif juga bisa mendeteksi adanya
infiltrasi iblis/ syaitan yang selalu berupaya menyesatkan manusia.
Infiltrasi tersebut bisa terjadi melalui orbit bawah maupun orbit atas.
Gangguan terhadap orbit bawah tersebut terjadi karena manusia berasal dari
tanah yang juga mengandung api (sebagai unsur utama iblis/ syaitan). Sedangkan
gangguan terhadap orbit atas bisa terjadi karena manusia sering melamun atau
hal-hal lain yang menyebabkan orbit atasnya berputar tidak beraturan sehingga
iblis/syaitan bisa masuk.
Latihan menjaga orbit tersebut efektif pula memperbaiki kualitas ibadah
manusia, sehingga bisa menjalankan ibadah dengan ikhlas dan khusyuk. Manfaat
latihan orbit tersebut sungguh luar biasa.
Kesimpulan
Metafisika merupakan cabang
ilmu yang dulu banyak digunakan untuk memahami berbagai fenomena kehidupan dan
alam semesta sedangkan islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan,
yaitu Allah. Maka Dalam Islam, jelas sebab
pertama tersebut adalah Allah Yang Maha Esa. Pemikir Islam yang sangat menonjol
di dalam ilmu metafisika dan ilmu pengetahuan adalah Ibnu Sina (930 - 1036 M).
Dalam bukunya Al-Syifa, Ibnu Sina banyak membahas ilmu-ilmu alam dan
metafisika, yang disusunnya hingga seri keenam. Berdasarkan kajian tentang
metafisika oleh Aristoteles dan Ibnu Sina, Muhammad Husaini menyimpulkan bahwa
masalah fundamental dari metafisika adalah mencari sumber dunia. Sedangkan
segenap masalah lainnya bersikap sekunder.
Berdasarkan penelitian, pemahaman, pengamalan, dan pengalaman dan ilmu
fisika maupun metafisika, manusia ternyata memiliki orbit/ putaran layaknya
planet-planet yang ada di alam semesta. Hal ini merupakan manifestasi manusia
sebagai khalifatullah di bumi, yang berperan sebagai wakil Allah SWT di bumi
untuk mengatur, memelihara, dan memanfaatkan alam beserta segala isinya.
Dengan perkataan lain, manusia adalah planet kecil, namun mampu menjadi
"planet besar" karena diberi mandat oleh Allah untuk menguasai dan
memanfaatkan planet-planet lainnya.
Makalah
ini juga menjelaskan mengenai unsur unsur metafisika islam berdasarkan beberapa
dalil yakni Ruh KU yang Maha Suci dan Tanah (yang
mengandung tanah, air, udara, dan api) sebagai manifestasi dari alam semesta.
Ruh KU yang Maha Suci dan hanya Allah SWT yang Maha Tahu, sedangkan manusia
dilarang membicarakan materinya. Namun setelah masuk ke dalam diri manusia
terasa adanya energi pemberi hidup, yang ternyata memiliki orbit/putaran ke
arah kanan dan posisinya di bagian atas diri manusia.
Sedangkan tanah sebagai manifestasi unsur alam menghasilkan energi berupa
orbit/putaran ke arah kiri dan posisinya di bagian bawah manusia. Keberadaan
energi pada setiap manusia ini sesuai dengan prinsip hukum fisika. Setiap benda di alam semesta, menurut ilmu fisika memiliki
energi (Everything in our universe is nothing more than energy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar